--> Tembang Dolanan Di Masyarakat Jawa
Home Umum

Masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang adil luhung. Hasil-hasil kebudayaannya mulai dari peninggalan situs-situs purbakala, rumah joglo, tari-tarian, bahasa, hingga tembang. 

Tembang dalam budaya Jawa merupakan puisi yang dilagukan. Ada tembang-tembang yang memiliki aturan ketat dalam hal guru lagu (bunyi akhir tiap larik), guru wilangan (jumlah suku kata tiap larik), dan guru gatra (jumlah larik tiap lagu atau bait) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan persajakan. 

Tembang-tembang Jawa dengan keindahan dalam aturan yang ketat ini, antara lain termasuk dalam kelompok tembang macapat, tembang tengahan, dan tembang gedhe. Ada pula tembang-tembang yang tidak beraturan, yakni tembang-tembang yang umumnya dinyanyikan anak-anak atau oleh orang tua untuk anak-anak dengan tujuan menimang, menghibur, atau meninabobokan.

Tembang-tembang yang biasa didendangkan atau disenandungkan untuk meninabobokan dan menimang anak tersebut amat banyak, dikenal juga dengan istilah tembang dolanan. 

Tembang dolanan biasa dinyanyikan anak-anak sambil bermain-main dengan kawan-kawannya, di antaranya ketika bermain Jamuran, Cublak-Cublak Suweng, Sepuran, Gula Ganti, dan lain-lain. Anak-anak juga mengenal permainan teka-teki, seperti wangsalan, parikan, dan sebagainya. 

Di mata polos anak-anak, tembang dolanan menjadi semacam hiburan dan alat permainan dengan temanteman sebayanya. Ada fungsi rekreatifyang didapat dengan memainkannya. 

Sementara itu, nilai kebersamaan bermain dan berbagi dengan teman-teman sebayanya menjadi efek samping yang menggembirakan. Tembang dolanan termasuk dalam kategori puisi (guritan) anak. 

Puisi-puisi tradisional, lirik tembang-tembang tradisional, atau lirik tembang-tembang ninabobo seperti yang dinyanyikan ibu sewaktu akan menidurkan anak, membujuk anak agar tidak rewel, atau membuat anak senang termasuk dalam jenis puisi anak. Puisi-puisi atau tembang-tembang tersebut tidak pernah diketahui pengarangnya karena telah mentradisi dan mewaris secara turun-temurun (Nurgiyantoro, 2005:27). 

Sebagaimana puisi pada umumnya, bahasa dalam puisi atau tembang anak ini bersifat singkat, padat, tetapi berisi. Efek melodius dan iramatis diperoleh dari ketepatan pilihan kata dan repetisi (pengulangan bunyi). 

Tembang dolanan bukan sekadar tembang atau lelagon bagi masyarakat Jawa. 

Namun, di dalamnya terkandung makna yang dalam. Masyarakat Jawa memilih mengungkapkan segala sesuatu tidak secara Iangsung atau dengan sindiran dan ironi. Sifat ini terungkap dalam ungkapan "wong]awa nggone pasemon". 

Ungkapan tersebut bermakna orang Jawa lazim mengungkapkan segala sesuatu dengan cara semu atau tidak nyata jelas. Secara sosial prinsip tersebut menjadi filosofi masyarakat, meski secara individu bisa berbeda-beda. 

Oleh karena itu, banyak sekali ungkapan luhur yang lahir dengan adanya sikap seperti ini. 

 Pada masa lampau secara tidak langsung, tembang dolanan ini digunakan untuk memberikan pendidikan moral kepada anak-anak, Bagi masyarakat Jawa sebuah tembang (lagu) tidak hanya sebatas lagu yang hanya memiliki nilai komersial, tetapi lebih mencerminkan watak atau karakter masyarakatJawa, baik itu berupa kebudayaan, keadaan sosial, ajaran budi pekerti luhur, atau sebuah doa dan harapan. Selain bertujuan untuk menghibur, secara tersirat tembang dolanan juga mengandung makna yang luhur. 

Tembang dolanan dapat dipakai untuk mengajarkan moral. Dengan melagukannya tanpa disadari makna luhur tersebut merasuk ke dalam jiwa anak-anak Mereka akan menerimanya dengan suka cita. 

Penerimaannya akan berbeda dengan norma dan nilai yang diajarkan dengan petuah-petuah yang dogmatis, anak-anak akan cenderung menarik diri dan bersikap defensif. 

Menurut Endraswara (2009:66), permainan tradisional ini merupakan potret lagu dan pennainan anak yang cocok untuk dikonsumsi jiwa anak. 

Jiwa anak akan terangsang mengikuti aliran bunyi dan gerak, hingga dapat mengambil nilai-nilai yang ada di dalamnya. Namun sayang, warisan agung ini hanya sayup-sayup terdengar pernah hidup dalam suatu masa pada masyarakat Jawa. 

Kini anak-anak dan remaja Jawa kurang mengenal berbagai ragam tembang dolanan tersebut karena tergerus oleh lajunya perkembangan zaman. Anak-anak sekarang lebih riuh dalam pergaulan jejaring sosial dunia maya, sedang dengan lingkungan sendiri asing.

Penelitian ini mengungkap kembali beberapa aspek tentang makna teks yang tersirat dalam tembang dolanan anak berbahasa Jawa, baik makna harfiah maupun makna filosofis, serta muatan yang terkandung di dalamnya. Adanya muatan-muatan filosofis tersebut secara tidak langsung tembang dolanan anak berbahasa Jawa menyimpan beragam nilai luhur yang berakar pada budaya bangsa Indonesia, terutama budaya Jawa. Dalam upaya membangun jatidiri dan karakter bangsa, tembang dolanan perlu dikenalkan kembali kepada generasi muda, khususnya anak-anak. 

Mereka adalah generasi penerus bangsa yang akan melanjutkan tongkat estafet perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila mereka kurang mendapat pemahaman mengenai akar budaya bangsa ini bukan tidak mungkin generasi yang akan datang akan kehilangan jatidiri dan karakter yang berbudi luhur. 

Tembang dolanan yang dibahas dalam buku ini adalah tembang dolanan yang berkembang dalam masyarakat Jawa yang pada zaman dulu dinyanyikan anak-anak saat bermain dengan teman-teman sebayanya, baik untuk mengiringi permainan maupun untuk bersenang-senang. Data penelitian dikumpulkan melalui teknik kajian pustaka (content analysis). Kajian pustaka dilakukan dengan sumber data teks/dokumen yang berkaitan dengan tembang dolanan Jawa dan budaya Jawa pada umumnya.

 Selanjutnya, dalam memaknai tembang dolanan Jawa digunakan metode pembacaan hermeneutik, yakni pembacaan bolok-balik antara teks tembang dolanan dengan referensi di luar teks atau realitas sosial budaya masyarakat Jawa yang menjadi latar sosial dalam tembang dolanan tersebut.


Baca juga :

1 comment

to Top